Cara mengatasi setres dalam kehidupan
Istilah stress, setres, dan sutris ada banyak padanannya. Ada yang menyebut galao. Ada suntuk. Ada apa lagi. Intinya kondisi tersebut akan dirasa tidak menyenangkan dan mengganggu bagi pengidapnya.
Kalau kita sederhanakan kejadian peristiwa yang dialami orang dalam satu dimensi kiri dan kanan, maka bisa kita katakan yang ada di sebelah kiri adalah kumpulan dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman negatif, lalu garis itu kita telusuri semakin ke kanan perasaan negatif itu semakin berkurang, sampailah di titik nol, netral, tidak sedih tidak senang, lalu kita telusuri ke kanan di sanalah tempat bermukim perasaan-perasaan positif. Jadilah kita mempunyai model sederhana.
Umumnya dua jenis perasaan itu hanya bisa terjadi secara sendirian pada orang. Misalnya kalau sedang sedih, tidak mungkin dia pada saat yang sama sekaligus gembira. Sebaliknya bila sedang dihinggapi rasa senang, pada saat itu sedihnya hilang.
Dengan menyadari fakta sederhana seperti itu, orang bisa berlatih mengkodisikan perasaan agar perasaan yang ditumbuhkan pada diri orang adalah perasaan-perasaan yang ada di sebelah kanan titik nol: puas, senang, bahagia, gembira, berkecukupan, rela, menerima, dan rasa-rasa lain yang sekelompok dengan rasa-rasa ini.
Fakta lain adalah, rasa aseli sebenarnya yang ada dalam orang adalah rasa fitrah yang kurang lebih terjadi pada anak-anak yang masih kecil. Kurang lebih yang ada hanya senang dan senang, bermain, bersuka cita. Tidak terlalu banyak mencemaskan masa lalu dan tidak khawatir dengan masa depan.
Dengan bertumbuhnya orang, bermunculan aneka rasa negatif yang ditimbulkan dari kecemasan dari peristiwa masa lalu dan kekhawatiran masa depan.
Bagaimana cara mengembalikan ke kondisi yang kurang lebih fitrah itu?
Kembali kepada fitrah, ringkasnya ya kembali kepada Yang Maha Kuasa, berjalan untuk semakin merasa dekat denganNya.
Bagaimana cara atau laku agar semakin dekat kepadaNya?
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan praktik rutin atau istilahnya istiqomah untuk membersihkan hati dan entitas-entitas di sekitar hati lainnya di bawah bimbingan orang yang sudah selesai mengalami proses pembersihan hati tersebut. Orang itu ada yang menyebutnya sebagai guru.
Mengapa harus pakai guru?
Secara teori tidak pakai guru pun dimungkinkan. Namun itu berisiko, bahkan mungkin sangat berisiko. Kalau ada guru, perjalanan penempuhan dan pelajaran bisa terbimbing dan ada yang mengarahkan, di samping ada transmisi semacam "berkah" dari seorang guru yang bisa membantu siswa lebih relatif aman menempuh jalan tersebut. Ibarat belajar Teknik Nuklir, yang dimungkinkan belajar sendiri, tapi juga dimungkinkan belajar melalui jalur Universitas dengan tahapan-tahapan yang sudah dirumuskan untuk bisa dilalui dan ditempuh oleh seorang mahasiswa di bawah bimbingan para dosen dan dosen pembimbing. Belajar ilmu dunia saja perlu bimbingan, apa lagi belajar ilmu mengarah ke hati.
Apa hubungan semua itu dengan mengatasi setres dalam kehidupan?
Setidaknya, ketika orang setres, keadaan itu bisa dijadikan sebagai semacam pintu masuk untuk belajar ilmu yang mengarah ke hati. Dengan harapan ketika orang mengikuti tahapan-tahapannya, orang akan menjadi semakin dekat dengan Tuhannya. Dan kalau sudah semakin dekat dengan Tuhan, bagaimana mungkin orang bisa setress?
Di mana bisa menemukan guru pembimbing perjalanan spiritual?
Kalau pertanyaan ini, semua akan dilembalikan masing-masing orang. Bila orang itu sudah siap, guru akan datang menemukan orang tersebut.
Comments
Post a Comment