TURNING TOWARD THE HEART 032 Where Others End, There Marks Our Beginning Question 32: "Where Others End, There Marks Our Beginning" (Indiraj an-nihayah fi'l-bidayah) Would you please elaborate on the concept of "indiraj an-nihayah fi'l-bidayah"?
FOKUS KEMBALI KE HATI
032 Ketika Yang Lain di Titik Akhir, dari Titik Akhir itulah Kami Memulai
Pertanyaan 32: "Ketika Yang Lain Mengakhiri, dari Situ Kami Memulai" (Indiraj an-nihayah fi'l-bidayah)
Tolong jelaskan konsep "indiraj an-nihayah fi'l-bidayah"?
Indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah, yang berarti "di mana orang lain berakhir. Di sana menandai awal kita," digunakan dalam tarekat Naqshbandi-Mujaddidī untuk menggambarkan urutan praktik spiritual yang khas. Diperkenalkan oleh Shaykh Bahā'uddin Naqshband pada abad ke empat belas, itu adalah teknik yang dirancang untuk membantu mengatasi rintangan yang membuat manusia tidak mendekat kepada Tuhan.
Dua macam gangguan mengganggu kesadaran kita akan Sang Pencipta. Pertama adalah gangguan dari dunia luar yang menarik minat kita, menempati perhatian kita, dan menyebabkan kita melupakan Tuhan. Gangguan semacam itu terkait dengan diri (nafs). Kedua adalah gangguan yang berasal dari dalam diri kita dan berhubungan dengan hati (qalb). Untuk semakin mendekat kepada Tuhan, kita harus bebas dari rintangan lahiriah dan batiniah.
Para Syekh awal-awal dulu sering mengarahkan tahap awal pelatihan spiritual untuk mengatasi gangguan dunia luar dan nafs. Mereka membimbing para siswa terlebih dahulu untuk menyempurnakan pusat-pusat kesadaran yang terkait dengan dunia penciptaan (lața'if ālam al-khalq). Istilah teknis untuk upaya ini adalah "perjalanan ke cakrawala" (sayr-i āfāqi).
Hanya ketika sayr-i āfāgī selesai, siswa akan menyempurnakan pusat-pusat yang paling berhubungan langsung dengan kehidupan batin seseorang: hati dan latā'if lain dari 'alam al-amr. Aspek jalan ini disebut "perjalanan menuju wujud batin" (sayr-i anfusī).
Menaklukkan diri sendiri adalah pekerjaan yang sulit, dan pemula bisa melakukan banyak kesalahan dalam usahanya ini. Mereka yang memulai dengan langkah ini sering menghabiskan waktu bertahun-tahun memperbaiki diri mereka melalui jalan-jalan zuhud. *** 92 Pendekatan itu terbukti memakan waktu sehingga pejalan spiritual sering meninggal dulu sebelum mencapai tujuan mereka.
Memperhatikan kesulitan yang bisa ditimbulkan oleh pendekatan ini, Baha'uddīn Naqshband (ra) (wafat 1389) mengubah praktik-praktik yang diajarkan oleh para pendahulunya. Dia membimbing murid-muridnya untuk memulai proses transformasi dari hati dulu, bukannya dari nafs dulu. Teknik ini dikenal dalam tarekat Naqshbandi sebagai indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah- "di mana orang lain berakhir, di sana menandai awal kita."
Bahā'uddin Naqshband (ra) dan para penerusnya menemukan bahwa siswa yang terlatih dalam teknik ini sering mencapai tujuan spiritual mereka lebih cepat. Setelah menyelesaikan "perjalanan menuju batin," mereka tidak perlu mencurahkan waktu ekstra untuk menyelesaikan "perjalanan ke cakrawala, karena dalam proses mengejar yang pertama mereka secara simultan maju dalam yang terakhir.
Beberapa orang bertanya-tanya: jika mereka memulai perjalanan mereka di mana yang lain berakhir, lalu apa akhir dari perjalanan mereka? "Di mana orang lain berakhir, di sana menandai permulaan kita" tidak berarti bahwa para pemula yang menggunakan teknik ini akan, sejak awal, mencapai keunggulan dan kesempurnaan seperti pencapaian akhir perjalanan dari para wali jaman dulu. Mereka hanya sedikit mencicipi rasa dari tujuan akhir di awal perjalanan. Bahā'uddīn Naqshband (ra) berharap bahwa rasa ini akan membangkitkan kerinduan dan keberanian siswa untuk menjalani jalan spiritual. Pengalaman kebenaran abadi dalam kepenuhannya menandai tahap terakhir dari jalan, pengalaman yang dikatakan Bahā'uddīn Naqshband (ra) adalah berdiri terpesona dan menjadi bisu.
Suatu hari seorang pengunjung bertanya kepada Khwājah Bahā'uddin Naqshband (ra), "Apa rahasia yang memungkinkan seorang pencari dalam tarekat Anda menjadi sangat terpengaruh dan memperoleh begitu banyak wawasan pada tahap awal studi?" *** 93
Beliau menjawab, "Berbeda dengan para pencari masa lalu, siswa saat ini rentan dengan gangguan tanpa henti yang mengurangi kerinduan, niat, dan kemauan mereka. Meskipun demikian, cinta yang kita rasakan terhadap mereka telah mendorong kita untuk menemukan cara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, dengan bantuan Yang Mahakuasa, kami telah menemukan metode yang tepat. Baik pejalan telah melakukan upaya signifikan atau belum, kami mencicipkan sekilas rasa dari tujuan akhir mereka di awal perjalanan. Setelah merasakan pemenuhan yang ada di depan, bahkan hati yang paling dingin dan tidak responsif pun menjadi hangat dan reseptif." *** 94
Untuk bimbingan lebih lanjut hubungi kontak di https://www.sufischool.org/
TURNING TOWARD THE HEART
032 Where Others End, There Marks Our Beginning
Question 32: "Where Others End, There Marks Our Beginning" (Indiraj an-nihayah fi'l-bidayah)
Would you please elaborate on the concept of "indiraj an-nihayah fi'l-bidayah"?
Indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah, meaning "where others end. there marks our beginning," is used in the Naqshbandi-Mujaddidī Order to describe a distinctive sequencing of spiritual practices. Introduced by Shaykh Bahā'uddin Naqshband in the fourteenth century, it is a technique designed to aid in overcoming the obstacles that keep human beings from drawing near to God.
Two kinds of distractions interfere with our awareness of the Creator. First are distractions of the external world that attract our interest, occupy our attention, and cause us to forget God. Such distractions are related to the self (nafs). Second are distractions that come from within us and are associated with the heart (qalb). To draw nearer to God, we must become free of both outer and inner obstacles.
Early shaykhs often directed the initial stages of spiritual training toward overcoming the distractions of the outer world and nafs. They guided students first to refine the centers of consciousness associated with the world of creation (the lața'if of ālam al-khalq). The technical term for this undertaking is "the journey to the horizon" (sayr-i āfāqi).
Only when sayr-i āfāgī was completed would students perfect the centers that relate most directly to one's interior life: the heart and the other latā'if of 'alam al-amr. This aspect of the path is called "the journey toward inner being" (sayr-i anfusī).
Conquering the self was a difficult undertaking, and novices could commit many errors in the attempt. Those who started with this step often spent years refining them selves through austerities. *** 92 The approach proved so time consuming that spiritual travelers frequently died before reaching their destination.
Noting the hardships that this approach could entail, Baha'uddīn Naqshband (r.a.) (d. 1389) altered the practices taught by his predecessors. He guided his students to begin the process of transformation with the heart rather than the self. This technique became known within the Naqshbandi Order as indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah-"where others end, there marks our beginning."
Bahā'uddin Naqshband (r.a.) and his successors found that students trained in this technique often reached their spiritual destination more quickly. After completing "the journey toward the inner being," they did not need to devote extra time to completing "the journey to the horizon, for in the process of pursuing the former they were simultaneously advancing in the latter.
Some people wonder: if they start their journey where others end, then what is the end of their journey? "Where others end, there marks our beginning" does not mean that novices who use this technique will, from the outset, attain the excellence and perfection that earlier saints attained at the end. They receive only a taste of the final destination at the beginning. Bahā'uddīn Naqshband (r.a.) hoped that this taste would arouse students' yearning and courage to walk the spiritual path. The experience of the eternal truth in its fullness marks the last stage of the path, an experience which Bahā'uddīn Naqshband (r.a.) said is to stand spellbound and become mute.
One day a visitor asked Khwājah Bahā'uddin Naqshband (r.a.), "What is the secret which enables a seeker in your order to be so affected and gain so much insight in the initial stages of study?" *** 93
He replied, "In contrast to seekers of the past, today's students are subject to constant distractions that diminish their yearning, intention, and will power. Nevertheless, the love we feel toward them has compelled us to find a way to deal with their needs. So, with the help of the Almighty, we have devised an appropriate method. Whether or not seekers have made any significant effort, we provide them at the beginning with a glimpse of their ultimate goal. Having once sensed the fulfillment that lies ahead, even the most cold and unresponsive hearts become warm and receptive." *** 94
For further guidance and consultation please contact via info in the following main web : https://www.sufischool.org/
032 Ketika Yang Lain di Titik Akhir, dari Titik Akhir itulah Kami Memulai
Pertanyaan 32: "Ketika Yang Lain Mengakhiri, dari Situ Kami Memulai" (Indiraj an-nihayah fi'l-bidayah)
Tolong jelaskan konsep "indiraj an-nihayah fi'l-bidayah"?
Indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah, yang berarti "di mana orang lain berakhir. Di sana menandai awal kita," digunakan dalam tarekat Naqshbandi-Mujaddidī untuk menggambarkan urutan praktik spiritual yang khas. Diperkenalkan oleh Shaykh Bahā'uddin Naqshband pada abad ke empat belas, itu adalah teknik yang dirancang untuk membantu mengatasi rintangan yang membuat manusia tidak mendekat kepada Tuhan.
Dua macam gangguan mengganggu kesadaran kita akan Sang Pencipta. Pertama adalah gangguan dari dunia luar yang menarik minat kita, menempati perhatian kita, dan menyebabkan kita melupakan Tuhan. Gangguan semacam itu terkait dengan diri (nafs). Kedua adalah gangguan yang berasal dari dalam diri kita dan berhubungan dengan hati (qalb). Untuk semakin mendekat kepada Tuhan, kita harus bebas dari rintangan lahiriah dan batiniah.
Para Syekh awal-awal dulu sering mengarahkan tahap awal pelatihan spiritual untuk mengatasi gangguan dunia luar dan nafs. Mereka membimbing para siswa terlebih dahulu untuk menyempurnakan pusat-pusat kesadaran yang terkait dengan dunia penciptaan (lața'if ālam al-khalq). Istilah teknis untuk upaya ini adalah "perjalanan ke cakrawala" (sayr-i āfāqi).
Hanya ketika sayr-i āfāgī selesai, siswa akan menyempurnakan pusat-pusat yang paling berhubungan langsung dengan kehidupan batin seseorang: hati dan latā'if lain dari 'alam al-amr. Aspek jalan ini disebut "perjalanan menuju wujud batin" (sayr-i anfusī).
Menaklukkan diri sendiri adalah pekerjaan yang sulit, dan pemula bisa melakukan banyak kesalahan dalam usahanya ini. Mereka yang memulai dengan langkah ini sering menghabiskan waktu bertahun-tahun memperbaiki diri mereka melalui jalan-jalan zuhud. *** 92 Pendekatan itu terbukti memakan waktu sehingga pejalan spiritual sering meninggal dulu sebelum mencapai tujuan mereka.
Memperhatikan kesulitan yang bisa ditimbulkan oleh pendekatan ini, Baha'uddīn Naqshband (ra) (wafat 1389) mengubah praktik-praktik yang diajarkan oleh para pendahulunya. Dia membimbing murid-muridnya untuk memulai proses transformasi dari hati dulu, bukannya dari nafs dulu. Teknik ini dikenal dalam tarekat Naqshbandi sebagai indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah- "di mana orang lain berakhir, di sana menandai awal kita."
Bahā'uddin Naqshband (ra) dan para penerusnya menemukan bahwa siswa yang terlatih dalam teknik ini sering mencapai tujuan spiritual mereka lebih cepat. Setelah menyelesaikan "perjalanan menuju batin," mereka tidak perlu mencurahkan waktu ekstra untuk menyelesaikan "perjalanan ke cakrawala, karena dalam proses mengejar yang pertama mereka secara simultan maju dalam yang terakhir.
Beberapa orang bertanya-tanya: jika mereka memulai perjalanan mereka di mana yang lain berakhir, lalu apa akhir dari perjalanan mereka? "Di mana orang lain berakhir, di sana menandai permulaan kita" tidak berarti bahwa para pemula yang menggunakan teknik ini akan, sejak awal, mencapai keunggulan dan kesempurnaan seperti pencapaian akhir perjalanan dari para wali jaman dulu. Mereka hanya sedikit mencicipi rasa dari tujuan akhir di awal perjalanan. Bahā'uddīn Naqshband (ra) berharap bahwa rasa ini akan membangkitkan kerinduan dan keberanian siswa untuk menjalani jalan spiritual. Pengalaman kebenaran abadi dalam kepenuhannya menandai tahap terakhir dari jalan, pengalaman yang dikatakan Bahā'uddīn Naqshband (ra) adalah berdiri terpesona dan menjadi bisu.
Suatu hari seorang pengunjung bertanya kepada Khwājah Bahā'uddin Naqshband (ra), "Apa rahasia yang memungkinkan seorang pencari dalam tarekat Anda menjadi sangat terpengaruh dan memperoleh begitu banyak wawasan pada tahap awal studi?" *** 93
Beliau menjawab, "Berbeda dengan para pencari masa lalu, siswa saat ini rentan dengan gangguan tanpa henti yang mengurangi kerinduan, niat, dan kemauan mereka. Meskipun demikian, cinta yang kita rasakan terhadap mereka telah mendorong kita untuk menemukan cara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, dengan bantuan Yang Mahakuasa, kami telah menemukan metode yang tepat. Baik pejalan telah melakukan upaya signifikan atau belum, kami mencicipkan sekilas rasa dari tujuan akhir mereka di awal perjalanan. Setelah merasakan pemenuhan yang ada di depan, bahkan hati yang paling dingin dan tidak responsif pun menjadi hangat dan reseptif." *** 94
Untuk bimbingan lebih lanjut hubungi kontak di https://www.sufischool.org/
TURNING TOWARD THE HEART
032 Where Others End, There Marks Our Beginning
Question 32: "Where Others End, There Marks Our Beginning" (Indiraj an-nihayah fi'l-bidayah)
Would you please elaborate on the concept of "indiraj an-nihayah fi'l-bidayah"?
Indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah, meaning "where others end. there marks our beginning," is used in the Naqshbandi-Mujaddidī Order to describe a distinctive sequencing of spiritual practices. Introduced by Shaykh Bahā'uddin Naqshband in the fourteenth century, it is a technique designed to aid in overcoming the obstacles that keep human beings from drawing near to God.
Two kinds of distractions interfere with our awareness of the Creator. First are distractions of the external world that attract our interest, occupy our attention, and cause us to forget God. Such distractions are related to the self (nafs). Second are distractions that come from within us and are associated with the heart (qalb). To draw nearer to God, we must become free of both outer and inner obstacles.
Early shaykhs often directed the initial stages of spiritual training toward overcoming the distractions of the outer world and nafs. They guided students first to refine the centers of consciousness associated with the world of creation (the lața'if of ālam al-khalq). The technical term for this undertaking is "the journey to the horizon" (sayr-i āfāqi).
Only when sayr-i āfāgī was completed would students perfect the centers that relate most directly to one's interior life: the heart and the other latā'if of 'alam al-amr. This aspect of the path is called "the journey toward inner being" (sayr-i anfusī).
Conquering the self was a difficult undertaking, and novices could commit many errors in the attempt. Those who started with this step often spent years refining them selves through austerities. *** 92 The approach proved so time consuming that spiritual travelers frequently died before reaching their destination.
Noting the hardships that this approach could entail, Baha'uddīn Naqshband (r.a.) (d. 1389) altered the practices taught by his predecessors. He guided his students to begin the process of transformation with the heart rather than the self. This technique became known within the Naqshbandi Order as indirāj an-nihāyah fi'l-bidāyah-"where others end, there marks our beginning."
Bahā'uddin Naqshband (r.a.) and his successors found that students trained in this technique often reached their spiritual destination more quickly. After completing "the journey toward the inner being," they did not need to devote extra time to completing "the journey to the horizon, for in the process of pursuing the former they were simultaneously advancing in the latter.
Some people wonder: if they start their journey where others end, then what is the end of their journey? "Where others end, there marks our beginning" does not mean that novices who use this technique will, from the outset, attain the excellence and perfection that earlier saints attained at the end. They receive only a taste of the final destination at the beginning. Bahā'uddīn Naqshband (r.a.) hoped that this taste would arouse students' yearning and courage to walk the spiritual path. The experience of the eternal truth in its fullness marks the last stage of the path, an experience which Bahā'uddīn Naqshband (r.a.) said is to stand spellbound and become mute.
One day a visitor asked Khwājah Bahā'uddin Naqshband (r.a.), "What is the secret which enables a seeker in your order to be so affected and gain so much insight in the initial stages of study?" *** 93
He replied, "In contrast to seekers of the past, today's students are subject to constant distractions that diminish their yearning, intention, and will power. Nevertheless, the love we feel toward them has compelled us to find a way to deal with their needs. So, with the help of the Almighty, we have devised an appropriate method. Whether or not seekers have made any significant effort, we provide them at the beginning with a glimpse of their ultimate goal. Having once sensed the fulfillment that lies ahead, even the most cold and unresponsive hearts become warm and receptive." *** 94
For further guidance and consultation please contact via info in the following main web : https://www.sufischool.org/
Comments
Post a Comment